Diarypsikologi.id – Di Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukamundur, Kabupaten Sukasalak, Provinsi Sukaduka, program makan siang gratis di sekolah menjadi buah bibir yang membahana. Setiap siang, anak-anak menyantap nasi padang, ayam goreng, hingga es teh manis tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Mereka tertawa riang, perut kenyang, dan pulang dengan wajah ceria. Namun, seperti pepatah lama yang berkata, “Tak ada makan siang gratis tanpa konsekuensi,” kebijakan ini rupanya memicu gejolak di balik layar.
Pemotongan Anggaran
Program ini dibiayai dari pemotongan anggaran lintas departemen. Departemen Pertanian, yang sebelumnya memiliki program subsidi benih, kini harus merelakan sebagian dananya untuk mendukung makan siang anak-anak sekolah. Akibatnya, petani-petani mulai merasa resah.
“Kami ini tanam padi susah payah, tapi hasilnya malah dipakai buat makan siang gratis,” keluh Pak Tani sambil menatap cangkul berkarat di tangannya.
Departemen Perhubungan pun tak luput dari dampaknya. Dana perbaikan jalan dialihkan untuk membeli nasi kotak. Jalan-jalan di Sukamakmur kini penuh lubang, bak wajah remaja yang sedang puber. Seorang pengendara motor sampai bercanda pahit, “Ini jalan raya atau kolam renang?”
Yang paling memprihatinkan adalah Departemen Tenaga Kerja. Demi menghemat biaya, mereka melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Banyak warga yang sebelumnya bekerja kantoran kini harus menjadi pengangguran.
“Dulu saya bekerja di kantor, sekarang kerjaannya cuma ngelihatin anak makan siang gratis,” ujar Pak RT sambil mengusap perut yang berbunyi keroncongan.
Ketika Malam Menjadi Sunyi
Budi, seorang anak yang setiap hari menikmati makan siang gratis, pulang ke rumah dengan perut kenyang. “Ayah, tadi aku makan ayam goreng di sekolah!” katanya dengan senyum lebar. Namun, senyum itu memudar ketika ia melihat ayahnya duduk termenung di depan meja kosong.
“Budi, ayah sudah di-PHK. Kita nggak ada uang buat beli beras,” ujar sang ayah dengan suara lirih.
Budi bingung. “Tapi kenapa kita nggak bisa makan malam gratis juga, Yah?”
Sang ayah hanya tersenyum pahit. “Itu program makan siang gratis, Bud. Kalau mau makan malam, kita harus berdoa dulu. Siapa tahu ada tetangga baik hati yang memberi nasi bungkus.”
Protes Bergaung
Kisah keluarga Budi menyebar bak virus di kalangan warga Sukamakmur. Protes pun mulai bergema. “Kami nggak mau makan siang gratis kalau malamnya harus puasa!” teriak seorang ibu sambil mengacungkan wajan kosong.
Pemerintah setempat panik. Mereka segera mengadakan rapat darurat. “Kita butuh solusi cepat!” seru seorang pejabat.
“Bagaimana kalau kita buat program makan malam gratis juga?” usul seorang peserta rapat.
Namun, seorang pegawai kecil mengangkat tangan dengan ragu. “Maaf, Pak. Tapi kita nggak punya anggaran lagi. Semua dana sudah habis untuk makan siang gratis.”
Ruang rapat pun hening seketika, penuh dengan keputusasaan. Program yang semula dianggap solusi jitu malah berbalik menjadi bumerang. Anak-anak kenyang di sekolah, tapi kelaparan di rumah. Orang tua kehilangan pekerjaan, dan dapur-dapur pun tak lagi mengepul.
Hikmah
Kisah ini memberikan pelajaran penting: kebijakan yang baik di atas kertas bisa menjadi bencana jika tidak dipertimbangkan matang-matang. Makan siang gratis boleh saja, tapi jangan sampai menyebabkan malam-malam penuh kelaparan bagi keluarga mereka. Ibarat kata, “Kasih makan siang gratis, tapi jangan sampai orang tuanya harus puasa seumur hidup.”
Artikel ini telah tayang di kompasiana,com dengan judul Makan Siang Gratis, Malamnya Puasa