DIARYPSIKOLOGI.ID – Beberapa hari lalu, sebuah video di akun Instagram seorang pemengaruh menuai perhatian publik. Dalam video tersebut, ia mengomentari kritik seorang anak terhadap rasa makanan bergizi gratis yang disediakan oleh pemerintah di sekolah. Anak itu mengeluhkan bahwa rasa ayam yang disajikan kurang enak. Alih-alih memahami keluhan tersebut, sang pemengaruh membandingkannya dengan anaknya sendiri, yang menurutnya bisa makan tanpa mengeluh tentang jenis makanan apa pun.
Komentar ini seolah mengabaikan fakta bahwa selera makanan adalah hal personal. Mengharapkan semua anak memiliki selera yang sama tentu tidak realistis. Kritik terhadap rasa atau kualitas makanan bukanlah hal tabu, melainkan sesuatu yang wajar dan bahkan menjadi hak setiap individu dalam masyarakat demokratis.
Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi
Achmad Adhi Dharmawan dalam artikelnya menjelaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak asasi yang diakui universal. Di Indonesia, hak ini dijamin oleh konstitusi, meskipun pelanggaran terhadapnya masih sering terjadi. Banyak individu menghadapi ancaman, intimidasi, bahkan tindakan hukum saat menyampaikan kritik terhadap tokoh politik atau kebijakan pemerintah.
Kritik berperan penting dalam menjaga keseimbangan antara rakyat dan pemerintah. Tanpa kritik, pemerintah rentan jatuh dalam kesalahan dan ketidakpedulian terhadap kebutuhan masyarakatnya.
Islam dan Pentingnya Kritik
Islam sendiri menempatkan kritik atau nasihat dalam posisi penting. Rasulullah bersabda:
“Agama adalah nasihat… bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam, dan kaum awam mereka.” (HR. Muslim)
Dalam praktiknya, Rasulullah ﷺ menerima kritik dan nasihat dengan hati terbuka. Contohnya, ketika seorang pemuka Quraisy, Utbah bin Rabi‘ah, menyampaikan berbagai tawaran agar Rasulullah menghentikan dakwahnya, Rasulullah mendengarkan penuh kesabaran dan merespons dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Sikap terbuka ini menunjukkan bahwa pemimpin tidak boleh menutup telinga terhadap suara yang berbeda.
Khalifah Umar bin Khattab juga dikenal sebagai pemimpin yang gemar menerima kritik. Beliau bahkan pernah berkata, “Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kekuranganku.”
Menciptakan Budaya Kritik yang Sehat
Dalam negara demokrasi, pemerintah harus mampu menerima kritik dengan sikap terbuka dan bijaksana. Ada beberapa hal yang bisa diterapkan:
- Mendengarkan dengan Tulus: Kritik yang jujur sering kali muncul dari rasa peduli. Pemimpin perlu memahami hal ini agar dapat memperbaiki kebijakan yang ada.
- Menghargai Pendapat Berbeda: Menghormati pandangan yang beragam mendorong terciptanya dialog sehat dan solusi yang lebih baik.
- Merespons Kritik dengan Santun: Sikap santun menunjukkan kematangan dan menjaga kehormatan pemberi kritik.
Dalam Islam maupun demokrasi, kritik adalah instrumen penting untuk perbaikan. Mengabaikan atau meredam kritik hanya akan merugikan bangsa dan masyarakat. Maka, mari jadikan kritik sebagai budaya yang sehat dan konstruktif demi kemajuan bersama.
Wallahu a’lam.
Artikel ini telah tayang di Nu.online dengan judul Islam Beri Ruang bagi Masyarakat untuk Kritik Pemimpinnya