Perbedaan Standar Menyebabkan Angka Kemiskinan Berbeda
Negara miskin seperti Indonesia menjadi sorotan usai data Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di dunia. Posisi ini berada tepat di bawah Zimbabwe, jika menggunakan standar internasional sebesar US$2,15 per hari atau sekitar Rp10.000.
Dengan acuan tersebut, lebih dari 100 juta warga Indonesia dikategorikan hidup dalam kemiskinan ekstrem. Namun, angka tersebut berbeda jauh dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya sekitar 25 juta jiwa pada Maret 2024.
Perbedaan ini disebabkan oleh standar yang digunakan. BPS menetapkan garis kemiskinan sekitar Rp550 ribu per bulan. Angka ini jauh lebih rendah dari standar internasional. Alhasil, jumlah warga yang dikategorikan miskin menjadi berbeda tergantung metode perhitungan yang digunakan.
Negara Miskin dan Respons Publik yang Muncul
Topik tentang Indonesia sebagai negara miskin menjadi perbincangan luas di dunia maya. Banyak warganet menyampaikan komentar yang tajam dan kritis terhadap kondisi ini. Beberapa menyindir soal korupsi dan ketimpangan pendapatan yang dirasa semakin mencolok.
Salah satu komentar menyebutkan, “Kalau korupsinya peringkat berapa min?” Ada pula yang menyindir, “Selamat 10 tahun Jokowi menjabat, berhasil memiskinkan rakyat dengan beban utang menggunung.”
Komentar lain menyatakan, “Indonesia nomor 2 termiskin dan nomor 1 terkorup.” Tanggapan ini menunjukkan bahwa publik tidak hanya fokus pada angka kemiskinan, tapi juga menyoroti pengelolaan anggaran dan kesejahteraan masyarakat.
Kemiskinan Ekstrem dan Ketimpangan Sosial
Fenomena negara miskin seperti Indonesia tidak hanya soal pendapatan harian, tetapi juga ketimpangan yang terasa di banyak sektor. Ketika sebagian besar rakyat hidup dengan Rp10.000 per hari, di sisi lain, terdapat pejabat dengan penghasilan sangat tinggi.
Komentar warganet yang menyebut “Penduduknya miskin, yang kaya pemerintahannya” mencerminkan keresahan publik. Ketimpangan ini menciptakan jurang sosial yang kian dalam. Rasa keadilan pun dipertanyakan, terutama saat gaji pejabat tidak sebanding dengan kondisi ekonomi rakyat.
Standar Internasional Sebagai Cermin Kondisi Nyata
Menjadi negara miskin menurut standar global bukan semata soal statistik, tetapi juga cermin dari realitas sosial yang dihadapi masyarakat. Ketika 100 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem, ada persoalan mendasar yang harus dibenahi.
Standar internasional memberikan gambaran yang lebih realistis tentang kebutuhan dasar hidup manusia. Hal ini mencakup kecukupan pangan, tempat tinggal layak, dan akses pendidikan. Bila angka 100 juta orang itu benar, maka tantangan Indonesia sangat besar dalam menurunkan angka kemiskinan secara nyata.
Perlu Kebijakan yang Menyentuh Akar Masalah
Label negara miskin tidak bisa hanya dijawab dengan pembelaan data statistik lokal. Diperlukan kebijakan yang benar-benar menyentuh kebutuhan dasar rakyat, bukan hanya untuk memenuhi indikator makro ekonomi. Peningkatan pendapatan masyarakat, pengurangan korupsi, dan pemerataan pembangunan harus menjadi prioritas.
Kata kunci negara miskin tidak hanya perlu dijawab dengan narasi positif, tetapi dengan tindakan konkret. Pemerintah perlu menjadikan data global sebagai bahan introspeksi, bukan semata untuk dibantah dengan angka versi sendiri. Jika 100 juta warga masih hidup miskin, maka itulah fakta yang tak bisa diabaikan.